Kelas IX-A sepi senyap saat Pak Hardi menerangkan panjang lebar di
depan kelas. Ada yang benar-benar memperhatikan, ada juga yang sebaliknya,
bahkan ada yang terkantuk-kantuk.
Adinda mengacungkan tangannya tinggi-tinggi.
“Mau nanya, Pak!” Seru Adinda memecah keheningan.
“Ya, Adinda?”
“Apakah aspek non material itu termasuk mental bangsa, Pak?”
“Ya. Mental bangsa itu...” Pak Hardi kembali menjelaskan panjang lebar.
Bimo berpaling ke arah Adinda, ia meringis
ketika melihat wajah Adinda yang tampak begitu serius. Bimo mengenal Adinda
sejak kecil, dan ia tahu Adinda pasti tidak akan puas dengan jawaban yang
diberikan Pak Hardi.
“Mengerti, Adinda?” Tanya Pak Hardi mengakhiri uraiannya.
“Tidak, Pak!” jawab Adinda sambil menggelengkan kepalanya.
Pak Hardi tampak terkejut mendengar jawaban
Adinda. Sebelum Pak Hardi sempat bertanya, Adinda sudah terlebih dahulu membuka
suara.
“Mental apa yang dibangun, Pak? Kok negara ini malah makin penuh dengan orang-
orang jahat? Orang-orang yang korupsi juga udah ga malu lagi, karena katanya hukum
bisa dibeli. Pemalsuan, pembajakan.. macam-macam! Apa memang seperti itu mental
bangsa kita? Katanya, generasi tua merupakan contoh bagi generasi kami yang
muda-muda ini? Apa yang harus kami contoh, Pak?”
Pak Hardi tertegun. Pertanyaan Adinda itu
benar-benar berada diluar dugaanya.
“Kalau yang ada sekarang udah kaya gini, gimana besok-besok? Apa akan lebih
parah lagi?” Lanjut Adinda.
Teman-teman Adinda yang tadi terkantuk-kantuk,
kini tampak mulai segar kembali.
“Betul itu, Pak..!!”
“Iya nih, Pak! Masa Cuma kita-kita aja yang dituntut jadi baik? Contohnya aja
ga baik...”
“Gak fair, gitu lhoo..”
“Pak, kata koran, setiap warga Indonesia sejak lahir sudah punya utang 10 juta,
yah?”
“waduhh? Gimana nih? Saya anti utang lho..!!”
Adinda menggaruk-garuk kepala sehingga jilbab putihnya menjadi sedikit miring.
“Aku ga bermaksud jadi provokator, Aku cuma pengen nanya sama ngeluarin unek-unek
yang ada di pikiranku aja. Menurut aku kalau dikeluarin dan dibicarain
sama-sama, mungkin bakalan ada titik cerah, dan mungkin juga bakalan ada
alternatif jalan keluarnya. Tapi jadinya? Huhh.. dasar..!!” Ucap Adinda dalam
hatinya.
***
“Pantes kamu ga pernah punya pacar, Din!” Kata
Bimo saat mereka sedang menunggu angkutan umum.
“Hah? Apa? Pacar?” jawab Adinda.
“Mana ada yang berani pacaran sama kamu, kalo kamu bawaannya ngajak debat
mulu.”
“Yeeyyy..! Siapa juga yang ngajak debat?”
“Kamu!” Jawab Bimo.
“Aku itu Cuma ngeluarin unek-unek yang ada dipikiran aku. Lagi pula, siapa juga
yang mau pacaran? Ihh, amit-amit. Gak ada tuh pacaran-pacaran. Makannya Bim,
ikut Irema biar ada pencerahan dikit!” ujar Adinda berapi-api.
Bimo tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi
wajah Adinda.
“Berapi-api banget, Din. Awas tuh kebakaran.!”
“Resek, ah!” Gerutu Adinda.
“Jadi cewe tuh, biasa-biasa aja, Din!” Kata Bimo setelah puas tertawa.
“Ini juga biasa”
“Maksud aku, gak usah ngurusin masalah-masalah besar..”
“Masalah besar?” Tanya Adinda.
“Iya. Politik, korupsi, atau yang sejenisnya itu kan, masalah besar”
“Terus gimana?”
“Dibawa enak aja! Jalan-jalan ke mall, nonton film, nonton konser musik, main
basket, main PS, yahh.. kaya anak-anak lain lah. Dibawa enjoy biar ga bete.”
“Ga bisa, Bim!” Kata Adinda.
“Kenapa?”
“Badan aku bisa gatel-gatel kalo Cuma diem!”
Bimo meringis.
“Jadi, kamu mau gimana?” Tanya Bimo.
“Berhenti korupsi, dong! Berhenti nyusahin orang lain! Jangan menindas orang
kecil! Jangan rebutan kekuasaan! Jangan Cuma bisa nuduh anak-anak muda sebagai
biang onar! Jangan habis-habisan menguras kekayaan alam pake alasan buat anak
cucu! Apanya yang buat anak cucu? Yang ada anak cucu malah makin menderita
karena alam yang semakin ga bersahabat!”
“Caranya?” Tanya Bimo lagi.
Adinda tiba-tiba terdiam. Itu yang dia tak
tahu, itu yang membuat dia semakin bete. Adinda hanya anak SMP yang berumur 15
tahun, Adinda tidak punya kekuatan untuk mengubah semuanya. Adinda masih
membutuhkan banyak hari esok lagi untuk menjadi sesosok manusia dewasa yang
memiliki kekuatan itu.
“Gimana kalo kita mulai aja dari yang
kecil-kecil, Din?” Usul Bimo.
“Misalnya?” Tanya Adinda.
“Misalnya kita ga nyontek, soalnya nyontek itu pangkalnya korupsi. Ga buang
sampah sembarangan, soalnya bisa bikin bumi kita ini makin kotor. Gak boros
juga”
Adinda menatap Bimo sesaat, lalu kembali
memandangi jalan raya. Mungkin Bimo benar, sesuatu akan menjadi besar karena
pernah kecil. Itu harus dilakukan sekarang juga, karena waktu tidak akan pernah
menunggu. Tapi hari esok pasti akan datang. Dan hari esok adalah milik kita.
SELESAI